Gunung Budheg (Cinta Pada Tanjakan Pertama)

    "Cinta pada pandangan pertama" menurut Gue merupakan kata-kata paling bulshit yang pernah Gue denger. Kenapa? karena menurut Gue ngga ada yang namanya cinta sesungguhnya yang hanya cukup dengan melihat, yang ada hanyalah nafsu. Gue pernah denger emak-emak bilang "Cinta akan bersemi ketika telah menjalani suatu hubungan atau ikatan", nggak salah juga, faktanya banyak orang zaman dulu yang dijodohin sama orang tuanya tanpa dasar cinta, toh juga punya anak sampe selusin. (udah Mblo, jangan bahas cinta-cintaan, lo ngga punya pengalaman.. wkwk)

Pos Perijinan Gunung Budheg

    Membahas tentang cinta, Gue punya pengalaman lain, yaitu jatuh cinta pada tanjakan pertama. Mungkin bisa dibilang telat kalo liat anak zaman milenial sekarang yang baru lahir udah bisa merasakan menaklukkan gunung-gunung ternama. Sedangkan Gue, baru merasakan jatuh cinta pada benjolan bumi pada usia 20 tahun. Tapi ngga masalah, ada yang bilang juga "cinta ngga bisa dipaksakan, dia akan hadir pada saat yang tepat" (Teori orang jomblo)

    14 Juli 2016, Saat itu bertepatan juga masih suasana lebaran. Gue dan temen-temen punya agenda silaturrahmi ke rumah Guru gue yang kebetulan rumahnya di Tulungagung. Perjalanan menunggangi motor kesayangan pinjama orang tua pun jadi pilihan. Bukan tanpa alasan, selain bisa menikmati perjalanan, menggunakan motor bisa menghemat pengeluaran karena bisa mampir ke rumah temen  dengan berkedok silaturrahmi tapi tujuanya numpang makan . Perjalan yang ditempuh kurang lebih 4-5 jam membuat Gue dan temen-temen harus banyak berhenti hanya untuk istirahat.

    Setelah perjalanan cukup melelahkan, akhirnya sampai juga di kediaman Guru Gue (sebut saja Pak Alim). Seakan sudah tau raut muka kelaparan anak-anaknya, Pak alim segera menyiapkan makanan yang memang Gue tunggu-tunggu. Tanpa menunggu perintah tuan rumah, Gue dan temen-temen langsung menyantap makan seperti orang yang tak pernah makan seminggu.

Makan formasi siapa yang cepat dia yang kenyang

    Setelah kenyang melahap makan gratis dengan suasana kekeluargaan, Gue dan temen-temen bersantai sambil ngobrol ngalor-ngidul yang pasti ada yang siap sebagai sasaran bullying. Tiba-tiba tapa sengaja Gue mendengar Mas Udin ngobrol sama Mas Boni dan Mas Bayu kalo punya rencana naik Gunung Budheg, yang kebetulan deket banget sama kediaman Pak Alim.

    Gunung Budheg sendiri merupakan kelompok gunung yang tidak terlalu tinggi, kurang lebih 500-700 Mdpl saja. Bahkan banyak yang menyebut bukit, tapi karena palang di pos awal ada tulisan Gunung, anggep aja kali ini Gue beneran lagi mendaki Gunung (Biar lebih kelihatan keren). Gunung Budheg ini terletak di kecamatan Campurdarat, Tulungagung. Ngga terlalu jauh juga dari pusat kota, kurang lebih menempuh waktu 20 menit dari pusat kota, lo udah bisa sampai di pos perijinan Gunung Budheg. Jalur menuju lokasi pun cukup mudah, motor dan mobil bisa langsung parkir di area pos perijian yang telah disediakan.

   Pukul 03.00 WIB pagi, tanpa sengaja Gue mendengar suara Mas Bayu, Mas Udin dan Mas Boni lagi ngobrol entah ngobrol apa. Kayaknya mereka udah punya niatan buat nanjak Gunung Budheg. Tanpa menunggu ajakan, Gue pun menawarkan diri untuk ikut. Gue langsung bangun dan nanya "Mas, mau naik Gunung Budheg? Gue ikut boleh Mas?". "Iya, ayo kalo mau ikut" Mas Boni menjawab. Tanpa cuci muka dan tanpa bekal apa-apa Gue langsung ikut dan juga si Gondol. Karena kita nanjak di pagi hari buta, akhirnya kita masuk tanpa mendaftar dan membayar ke pos perijinan (bisa dikatakan ilegal).

    Perjalanan pun dimulai, Gue, Gondol, Mas Antonio, Mas Udin, Mas Boni dan Mas Bayu. Dari keenam orang ini yang punya pengalaman naik gunung hanyalah Mas Udin, Mas Boni dan Mas Bayu. Sedangkan Gue? jangankan naik Gunung, naik gedung lantai satu aja udah merinding kayak ditembak sama cewek. Berbekal fisik prima sebagai atlit binaraga Gue sangat percaya diri bisa melangkah menuju puncak Gunung Budheg. Tanjakan demi tanjakan yang seakan tak ada hentinya membuat Gue ingin bilang "Mandek sek cooook, istirahat" nggak, karena kegengsian Gue lebih besar, Gue ikut melangkah terus bagaikan kuda yang tak kenal lelah. Baru saja berjalan 30 menit Gue sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa, yaitu melihat gemerlap lampu kota Tulungagung dari ketinggian.

Wajah Lugu Para Penerus Bangsa

    Tak sampai disini, perjalanan pun terus berlanjut. Tanjakan demi tanjakan terus menerpa lutut Gue sampe lemes. Tak ada kata-kata yang Gue ucapkan, selain menahan nafas dan lutut yang sudah mulai linu. Tak lama kemudian Gue dihadapkan rintangan yang cukup ekstrim yaitu tebing selendang orang menyebutnya. Gue harus melewati tebing ini dengan kaki agak gemetar, karena disamping Gue udah mengangah jurang yang cukup dalam seakan siap menelan Gue jika ngga hati-hati. Berbekal pengalaman manjat pohon mangga tetangga, akhirnya gue dapat melewati tebing yang membuat denyut jantung Gue teras berhenti sejenak.

Puncak Gunung Budheg

   Akhirnya, Gue dan temen-temen sampai juga di  puncak Gunung Budheg. Inikah yang dinamakan jatuh cinta pada tanjakan pertama?. Layaknya seorang yang bener-bener jatuh cinta, tak ada kata yang bisa Gue ucapkan. Menikmati suasana pagi hari di dataran tinggi Tulunagung sambil menyambut mentari menampakkan wajah indahnya. Menghirup udara segar diiringi semilir angin yang menyejukkan hati dan pikiran. Sejauh mata memandang, Gue disuguhkan hijaunya hutan dan kabut pagi yang silih berganti menutupi keramaian kota Tulunggagung dari ketinggian. Ya Gue bener-bener lagi jatuh cinta pada tanjakkan pertama. Bukan tanpa alasan, tapi Gue bener-bener sudah merasakanya.

Damailah Indonesiaku

    Mungkin ketinggian Gunung Budheg jauh dibanding dengan Gunung-gunung lainya, tapi itu bukan inti dari perjalanan Gue kali ini. Karena parameter kenikmatan dalam sebuah pendakian bukanlah ukuran ketinggian, tapi lebih ke kesan yang dirasakan. Dan sekali lagi Gue bilang, Gue Jatuh cinta pada tanjakan pertama di Gunung Budheg.    

Akan Ganteng Pada Saatnya

    Tak ada kata-kata bijak yang dapat Gue katakan selain bersyukur atas karunia Tuhan yang telah diberikan. Sungguh munafik sekali hati ini  jika masih merasa menjadi manusia dengan segala kekurangan. Karena sesungguhnya Tuhan telah melimpahkan banyak kenikmatan yang tanpa Gue sadari. Perjalanan ini merupakan awal petualangan cinta Gue berada di ketinggian yang tak pernah Gue lupakan. Termakasih Tuhan,

Atlit Nasional Binaraga
Latest
Previous
Next Post »