Open Talk untuk Bahan Evaluasi atau Hanya Sekedar “Seremoni”


Open talk merupakan sebuah kegiatan sharing terbuka yang mempertemukan beberapa pihak untuk membahas topik tertentu dengan tujuan sebagai jembatan penyampaian aspirasi dan bahan evaluasi. Itu adalah sebuah definisi umum yang tersusun secara rapih dan indah. Pertanyaanya sekarang adalah apakah kita sudah melakukan yang semestinya? Dan Apakah kita sudah mencapai tujuan yang kita harapkan? Atau, apakah kegiatan ini hanya tradisi tahunan yang harus dilaksanakan dengan hasil sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya kita yang bisa menjawabnya “


Sangat disesalkan sekali, sebuah kegiatan yang sudah tersusun secara rapih dengan persiapan yang tidak sebentar. Pengorbanan waktu, biaya dan tenaga mereka curahkan untuk mensukseskan kegiatan ini. Tapi apa hasilnya? Peserta hanya bisa dihitung dengan jari dan bahkan jumlahnya bisa dibilang fifty-fifty dengan jumlah panitia. Dimanakah letak kepedulian kita? Apakah kita sudah terlalu nyaman sehingga tidak perlu untuk meluangkan waktu hanya sekedar memberikan sebuah kontribusi untuk kemajuan prodi kita? Apakah dengan alasan kita mendapat beasiswa dengan segala kenyamanan sehingga hilang rasa kepedulian kita? Atau hanya alasan tugas perkuliahan sehingga kita menutup mata? Ini bukan sekedar untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kemajuan prodi kita yang pasti dirasakan seluruh mahasiswa dan dosen kampus tercinta.
 Ada satu lagi yang tak kalah menyakitkan hati. Bapak Ibu dosen yang kita banggakan, yang menjadi panutan dan yang menjadi teladan kita, hanya 1 yang berkenan hadir dari sekian banyak dosen yang diundang. Dimanakah letak hati nurani Bapak Ibu sehingga membiarkan acara kami (Sebagai anak) hampir gagal dikarenakan ketidak hadiran Bapak Ibu. Apakah kami perlu mengajukan proposal agar Bapak Ibu bisa hadir? Atau jika perlu kami mahasiswa teknik industri menggalang dana untuk mengundang Bapak Ibu agar bisa meluangkan waktu. Sesulit itu kah jika seorang anak ingin menyampaikan keinginanya kepada orang tuanya?
Persoalan ini adalah tentang rasa, yaitu rasa memiliki prodi kita. Pada kenyataanya, kita (mahasiswa) dan Bapak Ibu kita (Dosen) masih belum memiliki rasa bahwa Prodi ini adalah milik kita yang harus kita kembangkan, majukan dan kita jaga. Hak dan kewajiban dosen dengan mahasiswa sudah tidak perlu dibahas lagi jika kita memiliki rasa kepemilikan itu.
Kita harus malu, 17 tahun bukanlah waktu yang singkat. Apa yang sudah kita lakukan selama 17 tahun? Kampus lain yang sudah berlomba-lomba memikirkan bagaimana cara mahasiswanya agar bisa bersaing seacara nasiona maupun internasional dalam berbagai even, memikirkan bagaimana memperoleh akreditasi internasional, dan memikirkan bagaimana memperoleh relasi dengan perusahaan-perusahan besar. Sedangkan prodi kita masih berkutat mengurus masalah kedisiplinan dosen dan mahasiswa dengan finger print. Sungguh perbedaan yang sangat jauh. Sudah sadarkah kita dengan semua kenyataan ini?

Sikap Tidak Peduli..
Sikap Individualistis..
Sikap Egois..
..
..
Mungkin masih banyak lagi kata-kata yang bisa menggambarkan sikap Dosen dan Mahasiswa yang bisa membuat kita berubah menuju lebih baik.

Previous
Next Post »